TUGAS TEORUM 2  

Posted by Taufan Blog's in

TOKOH PEMIMPIN OTOKRATIS .

Teori Otokratis dalam Kepemimpian Pemerintahan
Teori otokratis adalah teori bagaimana seorang pimpinan pemerintahan dalam menjalankan tugasnya bekerja tanpa menerima saran dari bawahan, perintah diberikan dalam satu arah saja artinya bawahan tidak diperkenankan membantah, mengkritik, bahkan bertanya.

- SOEHARTO.
Jenderal Soeharto ditempatkan oleh perubahan dratis dan disertai kekerasan pada posisi kepemimpinan. Berlatar belakang militer, memegang komando tetapi sekaligus juga cerdas dan tegas. Estafet kepemimpinan nasional jatuh kepadanya. Represi Bung Karno terutama karena dibuat ganas, keras, dan kejam oleh PKI membuahkan kekuatan dan gerakan kontraporduktif yang sekaligus menjatuhkan kedudukannya. Masuk akal alias logis jika perubahan besar terjadi. Beruntunglah TNI berideologi negara Pancasila, bersendikan UUD 1945, membela negara kesatuan dan berakar sejarah laskar rakyat. Itu latar belakang doktrin dwifungsi dan didirikannya organisasi politik baru yang berupa kekaryaan.

Dengan pemahaman yang diasumsikan bahwa masalah ideologi telah selesai dan solid disertai pula pandangan dan sikap pragmatis terjadilah perubahan orientasi dan prioritas agenda dan program nasional. Sebutlah dari politik dan berpolitikan ke kerja nyata untuk memperbaiki perikehidupan sosial ekonomi negara dan masyarakat dan mengambil sikap terbuka sehingga bisa memanfaatkan sumber hubungan, bantuan dan kerja sama internasional. Adalah kecerdasan Presiden Soeharto dan keterbukaannya yang tahu diri sehigga dapat direkrut para pembantu pada tingkat menteri yang dalam bidang ekuin dan bidang lain memberikan kualitas kompetensi profesional dan teknokratis. Perbaikan dalam perikehidupan sosial ekonomi rakyat dan negara berubah pesat secara positif. Jika pemerintah dan pemerintahan waktu itu adalah otokratis, otokrasi itu sekaligus teknokratis dan kompeten.

Soeharto dianggap telah menjalankan kekuasaan dengan tangan besi juga seorang tokoh kontroversial dalam kaitannya dengan masalah hak asasi manusia dan Timor Leste. Banyak pihak yang tidak sepakat dengan pendekatannya. Soeharto juga telah menciptakan stabilitas di Indonesia. Kemudian, dia membawa stabilitas itu ke negara-negara tetanggal di ASEAN. Karena itu, para pemimpin ASEAN berterima kasih kepada Soeharto.

Tokoh peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), Hariman Siregar, menilai Soeharta sebagai pemimpin negara yang sangat diktator. “Saya ini orang yang paling dicederai oleh Soeharto. Saya diseret ke penjara, ayah saya meninggal saat saya dipenjara, istri saya sakit dan kembar saya meninggal,” kata Hariman.[1]

Hariman mengatakan, Soeharto adalah seorang pemimpin diktator yang percaya bahwa pembangunan dapat dicapai dengan kekerasan dan mengabaikan rakyat. “Merasa seorang militer, maka dia lindas saja kami semua. Semua orang-orang kritis dimasukkan ke penjara. Hanya Ali Sadikin saja yang dia agak ragu-ragu,” kata Hariman.

Di mata yang sedih dan merasa kehilangan, Soeharto dipandang sebagai orang yang telah berjasa dalam mengangkat bangsa ini dari keterpurukan ekonomi pada masa Orde Lama. Melalui kekuasaan yang digenggamnya selama 31 tahun, ia sempat membuat Indonesia maju dan dikagumi negara-negara lain. Bagi kelompok ini, di akhir masa pemerintahannya Soeharto memang melakukan kesalahan, tetapi kesalahan itu tidak menghapuskan jasa-jasanya yang telah dibuat selama ini.

Di mata yang setengah tidak peduli, Soeharto dianggap sebagai penanggung jawab utama ambruknya perekonomian Indonesia dewasa ini. Mereka menganggap maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa pemerintahan Soeharto itu sebagai biang keladi terjadinya krisis ekonomi yang mendera Indonesia sejak akhir tahun 1997 sampai dengan saat ini.

Sementara itu, yang sama sekali tidak mau tahu, sebagian besar adalah orang-orang atau sanak keluarga dari orang-orang yang dihukum mati, terbunuh, atau dijebloskan ke dalam penjara selama bertahun-tahun dengan tuduhan termasuk kelompok Soekarnois, atau anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah Soeharto mundur dari jabatannya, kelompok yang dijadikan kambing hitam atas peristiwa pembunuhan ketujuh Pahlawan Revolusi pada tahun 1965 itu bangkit kembali dan mencoba meluruskan sejarah. Mereka yang disingkirkan dengan cara tumpas kelor itu mencoba merangkaikan kembali potongan-potongan fakta dari peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 itu.

Selain mereka masih ada kelompok lain, yakni orang-orang yang dipenjarakan dan diisolasi pada masa pemerintahan Orde Baru dengan alasan yang berbeda-beda, termasuk diantaranya kelompok yang menamakan diri Petisi 50.

Hal yang menarik, Soeharto yang memproklamasikan rezimnya sebagai rezim Orde Baru bekerja dengan fokus. Ia sungguh-sungguh memilih skala prioritas dan berkonsentrasi pada persoalan dalam negeri, khususnya pertanian dan infrastruktur. Soeharto berkeliling nusantara, menyeberangi laut, meniti jembatan untuk menyapa rakyat di seluruh pelosok. Ia turun langsung ke sawah dan kebun, berdialog dengan petani, bahkan memberikan petunjuk bagaimana menangani hama dan masalah tanaman.

Ia mencintai petani, peternak, bahkan para penyuluh dan periset pertanian. Soeharto mencanangkan revolusi hijau untuk melipatgandakan produk pertanian. Ia bangun bendungan atau pengairan yang dapat membuat petani tidak kekurangan air. Ia dirikan pabrik pupuk agar petani meraih angka produksi optimal.

Dalam banyak kesempatan berbicara kepada pers, yang waktu itu masih dibolehkan duduk berdekatan dengannya, Soeharto selalu menyatakan bahwa sebuah bangsa tidak mungkin membangun kalau perut rakyatnya lapar. Sebuah bangsa besar tidak akan menciptakan stabilitas politik kalau penduduknya tidak makan. Berbagai jeritan, bahkan perkelahian, akan selalu terjadi kalau untuk beli satu liter minyak tanah dan setengah liter beras mesti antre.

Tidak heran kalau ia berkonsentrasi penuh pada aspek ini. Tidak heran pula kalau gubernur dan bupati kerap bisa menumui langsung Soeharto, sang presiden, untuk membahas produksi pertanian. Itu pula yang memunculkan pandangan para pamong, “kalau ingin dekat dengan Soeharto, berprestasilah di bidang pertanian”.

Ketika masalah dalam negeri benar-benar tertangani, dan tatkala keamanan nasional sungguh berada dalam genggamannya, barulah Soeharto mulai berkunjung ke luar negeri. Urusan luar negeri lebih banyak ditangani Menteri Luar Negeri Adam Malik. Langgamnya sangat berbeda dengan rezim-rezim sesudah ia berkuasa.

Hal yang membuat nama Soeharto melambung adalah ketika ia memilih Satelit Palapa untuk mengatasi persoalan telekomunikasi nasional. Komunikasi warga antarpelosok, sekadar menyebut salah satu contoh, dapat dilakukan dengan mudah. Telepon engkol dipensiunkan, orang tidak perlu berteriak dengan tone 10 ketika berbicara interlokal. Prestasi ini ia raih setelah sembilan tahun menjadi presiden.

Berkat ekspor migas, ia peroleh uang cukup untuk membangun puskesmas, sekolah inpres, bendungan, jalan raya, tanggul, dan sebagainya. Ia memupolulerkan program keluarga berencana dan transmigrasi. Lalu, untuk menerima tamu-tamunya, ia membangun peternakan di Tapos. Ini menarik, sebab tamu-tamunya bukan diajak ke istana yang mewah dan sejuk, tetapi diajak berjalan di kawasan peternakan, melihat bagaimana hewan diternakkan. Ia terkesan sangat ahli, sebab dapat menerangkan masalah hewan secara detail.

Bergaul dengan petani, peternak, dan nelayan inilah yang membuat Soeharto dekat dengan rakyatnya. Ia tahu denyut kehidupan rakyat, sebab berada ditengah-tengah mereka. Ia tahu apa keinginan rakyat, sebab ia turun ke sawah untuk berbicara langsung dengan rakyat yang polos.

Puncak prestasi Soeharto dicapai tahun 1984 tatkala Indonesia meraih swasembada beras, sebab sebelumnya Indonesia adalah pengimpor beras terbesar di dunia, kendati menjadi negara agraris. Badan PBB di bidang pangan, FAO memberikan penghargaan kepada Soeharto dan Indonesia atas prestasi monumental ini. Produksi padi Indonesia ketika itu mencapai 33.889.862 ton, produktivitas 3,66 ton per hektar.[2]

Akan tetapi, semua prestasi ini bukan tanpa ongkos. Rezim Orde Baru Soeharto menumpas demokrasi dan merintangi kebebasan berpendapat. Soeharto menyuruh tutup surat kabar, membredel majalah yang kritis, atau berani mengkritik dia secara terbuka. Orang-orang yang berbeda pendapat dengan Soeharto diarahkan ke pojok dan tidak diberi angin sama sekali.

Begitu parahnya pemojokan itu sehingga sejumlah warga enggan atau takut berhubungan dengan orang-orang yang secara terang-terangan berseberangan dengan Soeharto, sebutlah misalnya Petisi 50. Orang-orang yang berprestasi, tetapi berbeda pandangan dengan Soeharto, seperti Ali Sadikin, ditepikan.

Demokrasi pun sangat tidak berkembang. Pemilu memang dilakukan lima tahun sekali, tetapi dalam iklim tidak demokratis. Dengan sikapnya yang otoriter, pemilu menjadi semacam pengesahan terhadap kelangsungan kekuasaanya saja. Ia melihat, sebuah perpanjangan masa kekuasaan harus dilakukan secara legal, melalui pemilu. Bahwa pemilu itu kemudian menjadi semacam dagelan dan sandiwara politik, itu dua soal yang berbeda.

Pokonya, rezim Orde Baru Soeharto sudah menjalankan pemerintah konstitusi, yakni pemilu lima tahun sekali. Beberapa pembantu dekatnya, yang secara berterus terang meminta ia lebih mengendalikan anak-anak serta cucunya, malah dimarjinalkan. Ini juga yang kemudian memunculkan pendapat, apa bedanya ia dengan raja? Hanya masalah istilah raja dan presiden. Hakikatnya sama, ia otoritarian. Ia diktator, yang berkuasa penuh.

Akan tetapi, terlepas dari semua hal negatif tersebut, Soeharto tetaplah seorang Presiden RI yang besar. Ia, untuk masa sekitar 20 tahun, pernah membuat negeri ini tenteram dan cukup sejahtera. Ia mengajarkan bagaimana sebuah pekerjaan yang fokus mesti dilaksanakan. Ia menunjukkan bahwa masalah pangan tidak bisa dikerjakan secara main-main, harus ditangani sebaik-baiknya, jika menghendaki stabilitas (nasional di bidang ekonomi, keamanan, dan politik).

Aspek menarik lain dari Soeharto adalah gaya ia membangun sebuah wibawa pemerintahan. Ia bisa bijak bicara, bisa sangat halus, tetapi juga bisa sangat keras. Jika perlu menumpas lawan sambil tersenyum. Ia bisa mengatakan tidak ada urusan dengan Belanda, yang mengucurkan bantuan tidak seberapa, tetapi ingin mengatur Republik ini.

Negara-negara tetangga pun sangat hormat kepada Soeharto, termasuk Singapura, Australia, dan Malaysia. Wibawa kuat ini yang tidak tampak pada semua presiden sesudah rezim Soeharto. Semasa Soeharto, mana berani Malaysia bertingkah terhadap Indonesia? Mata uang selalu mempunyai dua sisi, begitu pula Soeharto .

Nama : Taufan Imam Susanto
Kelas : 2 ka 30
npm : 16110830

This entry was posted on Senin, 24 Oktober 2011 at 05.32 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar